Saya sendiri suka menulis sejak SD, tapi saat sekolah tidak ada penyaluran selain bidang studi bahasa indonesia. Disatusisi saya memang senang dengan studi bahasa indonesia bahkan saya sebelum menyelesaikan sekolah sudah bercita-cita ingin menjadi penulis. 20 tahun lalu, saya membayangkan waktu itu yang saya mau hanyalah menulis dan bekerja dirumah. Jadi konsep yang ada sekarang itu seperti work from home sudah saya lakukan sedari dulu.
Saya sempat menjadi wartawan ditahun 2002-2004 tapi saya diharuskan kekantor. Di sisi lain konsep yang saya inginkan itu tidak begitu (kerja kantoran). Mulai 2005 ada peluang untuk kerja dirumah saja dan saya permantap lagi waktu pindah ke Makassar. Di 2008-lah yang memang saya benar benar bekerja dirumah.
Mertua saya sempat menyuruh untuk menjadi PNS, sampai pada akhirnya saya muncul di salah satu Stasiun TV karena salah satu buku terbitan saya itu meledak penjualannya. Sejak itu mertua saya tidak menyuruh saya menjadi PNS lagi.Banyak orang mengira menjadi penulis itu tidak bisa menjamin hidup kedepannya. Sebenarnya itu perspektif yang salah, sampai sekarang saya masih baik baik saja. Saya sekarang hidup dari menulis.
Saya tidak milih memilih genre, semua genre saya tulis. Saya lebih senang mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan orang banyak. Ada sebuah buku yang berjudul “ PAKKURU SUMANGA” awalnya berbahasa inggris saya kemudian terjemahkan ke bahasa indonesia karena saya menganggap buku itu penting tentang sejarah tari di Sulawesi Selatan (tari pakkarena ). Karya pertama saya itu tulisan tentang kebencanaan dan juga bukunya chambers. Untuk pengerjaan buku saya lebih senang keroyokan (rame-rame) maksud dan tujuannya supaya kita bisa saling bertukar pikiran dan ada banyak referensi yang bisa digunakan.
Saat pengerjaan buku RIC kemarin itu saya juga tidak sangka ternyata bertepatan dengan 100 tahun musik populer di Makassar. Itu sebuah kebetulan, tapi kebetulan itu juga harus diusahakan. Padahal tendensi saya awalnya adalah mencari catatan sejarah musik paling lama di Makassar. Dan lagi-lagi kebetulan saya mendapat ternyata WR Supratman ada dalam bagian musik populer Kota Makassar saat itu. Bab pertama dan kedua itu pengerjaannya selama tığa bulan, lala saya istirahat dan mencoba membuatkan film dokumenter “Bunyi Kota 100 Tahun Musik Populer” dari bab tersebut. Ada jeda beberapa bulan, setelah itu saya mencari Arsip di museum-museum yang ada di Pulau jawa. Justru kebanyakan file yang saya dapat itu ada di Belanda melalui akses akun dari teman saya.
Kampung buku ini dibangun tahun 2008, dinamakan kampung buku karena dulu saya bercita-cita akan banjir buku di Makassar dan selalu membayangkan bahwa ada kampung yang isinya semua adalah buku. Disini semua orang menulis, sekira juga menulis itu adalah sebuah dåsar dari banyak profesi. Karena dengan menulis kita bisa memilah dan merunut cara kita dalam berpikir. Di kampung buku ini juga kami mengelola beberapa event seperti event seni rupa yang dilaksanakan setiap 2 tahun. Ada tiga penerbit di kampung buku ini yaitu inninawa, Tanahindie, dan Makassar Biennale.
Bagi saya sendiri pertemanan (berjejaring) itu sangat penting. Sebelum melangkah lebih jauh pertemanan yang harus diperluas terlebih dahulu karena semuanya bermulai dari situ. Saya sendiri orangnya tidak bisa diam dalam artian harus menciptakan sesuatu seperti buku ataupun film. Teman-teman di Makassar juga tidak usah dulu melihat terlalu jauh, mungkin ujung jari kita saja sudah tidak kelihatan di mata.
Saya ini cuman orang biasa yang ingin karyanya saat meninggal bisa bermanfaat bagi orang lain dan menjadi amal bagi diri sendiri. Untuk titik terendah saya belum merasakan karena saat ini masih sangat senang bekerja (menulis), kecuali kalau suatu saat saya berhenti melakukan pekerjaan ini mungkin itulah titik terendahnya.